Pelaksanaan dan pengembangan kehidupan demokrasi harus diorientasikan bagi kemajuan kolektif masyarakat setempat, yaitu masyarakat Desa, bukan demi demokrasi itu sendiri. Dalam hal ini, ketaatan terhadap norma demokrasi harus seiring dengan keterikatan atau loyalitas terhadap komunitas. Dengan alamat keberpihakan tersebut, demokrasi Desa bukan lagi menjadi perangkat nilai-nilai umum (universal) yang bersifat memaksa, atau menjadi mekanisme dan prosedur yang terlepas dari pengalaman masyarakat Desa, melainkan terkait dan terikat pada perikehidupan masyarakat yang menjalankan demokrasi. Secara lebih spesifik, prinsip demokrasi Desa adalah sebagai berikut.
1. Kepentingan Masyarakat Desa
Pelaksanaan pemerintahan desa secara keseluruhan harus
bertolak dan berujung pada kepentingan masyarakat Desa. Kepentingan masyarakat
Desa yang dimaksud adalah aspek umum yang berkait dan menentukan perikehidupan
warga Desa, khususnya untuk hal yang bersifat strategis. Dalam Pasal 54 ayat
(2) UU Desa, hal yang bersifat strategis tersebut meliputi: (a) penataan Desa,
(b) perencanaan Desa, (c) kerja sama Desa, (d) rencana investasi yang masuk ke
Desa, (e) pembentukan BUM Desa, (f) penambahan dan pelepasan aset Desa, dan (g)
kejadian luar biasa. Meletakkan kepentingan masyarakat Desa sebagai prinsip
demokrasi Desa dimaksudkan untuk mengontrol kualitas dan keterwakilan aspirasi
masyarakat Desa dalam mekanisme demokratis yang dilaksanakan Desa.
2. Musyawarah
Setiap keputusan Desa mengutamakan proses musyawarah mufakat.
Musyawarah merupakan pembahasan atas suatu masalah tertentu dengan
mengedepankan tukar pendapat serta argumentasi yang dilaksanakan dengan
melibatkan seluruh unsur masyarakat. Berbeda dengan sistem pengambilan keputusan
yang mengedepankan pemungutan suara, prinsip musyawarah mengedepankan tukar
pendapat, pandangan, dan argumentasi antar peserta musyawarah sampai dicapai
mufakat. Dalam demokrasi Desa, musyawarah sekaligus juga merupakan mekanisme
utama dalam mencapai keputusan Desa seperti diatur dalam Permendesa PDTT No. 2
tahun 2015.
Musyawarah sebagai prinsip demokrasi Desa merupakan
bagian dari rekognisi atas kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Desa.
Termasuk di dalamnya merekognisi sifatsifat kegotong-royongan, kebersamaan, dan
kolektivitas. Dalam konsepsi demokrasi modern, musyawarah sesungguhnya seiring
dengan pandangan demokrasi deliberatif yang mengedepankan adu argumentasi dalam
ruang publik. Dalam musyawarah, akal (bukan okol, atau otot) dan pikiran jernih
khas masyarakat Desa yang memandu pertukaran argumentasi. Bedanya, apabila adu
argumentasi dalam demokrasi deliberatif berangkat dari ruang pengalaman
masyarakat urban, pertukaran argumentasi dalam musyawarah berlangsung dalam
ruang pengalaman masyarakat desa.
3. Partisipasi
Partisipasi berarti keikutsertaan masyarakat Desa dalam
setiap kegiatan dan pengambilan keputusan strategis Desa. UU desa meletakan
sifat partisipatif sebagai asas pengaturan, yang artinya berkehendak untuk
menopang proses demokratisasi di Desa. Partisipasi dilaksanakan tanpa memandang
perbedaan gender (laki-laki/perempuan), tingkat ekonomi (miskin/kaya), status
sosial (tokoh/orang biasa), dan seterusnya. Sebagai asas pengaturan Desa dan
prinsip demokrasi, partisipasi merupakan keharusan sebagai perwujudan hak
demokratik yang dimiliki oleh setiap warga Desa sebagai pemegang kekuasaan.
Dalam konteks Musyawarah Desa, pelaksanaan partisipasi
tersebut dijamin sampai dalam tingkat yang sangat teknis. Dalam Pasal 3 ayat
(3) huruf e Permendesa No. 2 Tahun 2015, diatur bahwa setip unsur masyarakat
berhak “menerima pengayoman dan perlindungan dari gangguan, ancaman dan tekanan
selama berlangsungnya musyawarah Desa” (Pasal 3 ayat (3) huruf e permendesa
PDTT No.2 tahun 2015).
Reference: Naeni Amanulloh, 2015, "DEMOKRATISASI DESA".
0 komentar :
Posting Komentar