Kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul
Kewenangan atau Hak Asal Usul dalam Pasal 19 huruf [a] UU Desa mencakup pengertian ; dimana hak-hak asli masa lalu yang telah ada sebelum lahir NKRI pada tahun 1945 dan tetap dibawa dan dijalankan oleh desa setelah lahir NKRI sampai sekarang. Disamping itu, hak-hak asli yang muncul dari prakarsa desa yang bersangkutan maupun prakarsa masyarakat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Kewenangan asal-usul yang diakui oleh negara meliputi :
pengelolaan aset (sumberdaya alam, tanah ulayat, tanah kas Desa) dalam wilayah
yurisdiksi Desa, pembentukan struktur pemerintahan Desa dengan mengakomodasi
susunan asli, menyelesaikan sengketa secara adat dan melestarikan adat dan
budaya setempat.
Kewenangan asal usul Desa sebagaimana dalam Pasal 33
huruf [a] UU Desa diuraikan Pasal 34 ayat (1) PP No. 43. Tahun 2014, yang
paling sedikit kewenangan tersebut terdiri atas :
[a] sistem organisasi masyarakat adat;
[b] pembinaan kelembagaan masyarakat;
[c] pembinaan lembaga dan hukum adat;
[d] pengelolaan tanah kas Desa;
[e] pengembangan peran masyarakat Desa.
Dan ruang lingkup kewenangannya dibeberkan lagi secara
rinci dalam Pasal 2 Permendesa PDTT No. 1 Tahun. 2015 tentang Pedoman
Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa.
Dan untuk kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul,
secara khsusus dijelaskan lagi lebih gambang dalam Pasal 103 UU Desa, yang
diantaranya meliputi:
- Pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli,
- Pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat, dan
- Pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat. Yang operasionalnya diperjelas dalam Pasal 3 Permendesa PDTT No. 1 Tahun. 2015.
Dengan frasa “pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan
berdasarkan susunan asli” dalam Pasal 103 UU Desa di atas berarti, bahwa negara
harus memperhatikan dan menghormati kewenangan-kewenangan asal-usul yang
terkait dengan nomenklatur dan institusi atau organisasi desa. Misalnya:
- Sebutan lokal untuk istilah “desa” yang di daerah tertentu diistilahkan dengan Pakraman, Kampung, Gampong, Nagari, Banua, atau Lembang.
- Juga sebutan untuk istilah “diskusi” atau “musyawarah” yang di berbagai lokal daerah di Indonesia ada yang menggunakan istilah Kerapatan di Sumatera Barat, Kombongan di Toraja, Paruman di Bali, Gawe Rapah di Lombok, Saniri di Maluku.
- Maupun beragam sebutan untuk perangkat desa yang di berbadgai daerah mempunyai istilah sendiri-sendiri, misalnya kewang, pecalang, jogoboyo, kebayan, carik, dan sebagainya.
Istilah-istilah tersebut tidak hanya bermakna
nomenklatur, melainkan bisa mengandung pengetahuan, nilai dan jati diri suatu
masyarakat.
Dan dengan frasa “pengaturan dan pengurusan ulayat atau
wilayah adat” menunjukkan, bahwa negara tidak boleh melakukan campur tangan
atau mengambil alih terhadap tanah-tanah desa sebagai hak asal usul desa.
Walaupun begitu, negara tetap masih bisa melakukan pembinaan atas pengaturan
dan pengelolaan serta memberikan perlindungan (proteksi) untuk menjaga
kelestarian dan optimalisasi pemanfataan.
Hal ini karena tidak sedikit desa Adat atau Desa di
Indonesia yang mempunyai tanah desa sebagai aset desa yang dijaga dan
diwariskan secara turun temurun. Tanah desa merupakan hak asal-usul desa yang paling
vital, sebab tanah merupakan aset (kekayaan) yang menjadi sumber penghidupan
dan kehidupan bagi desa dan masyarakat. Oleh karena itu negara perlu memberikan
pengakuan dan penghormatan (rekognisi) terhadap tanah sebagai hak asal usul
desa.
Juga dengan frasa “pelestarian nilai sosial budaya Desa
Adat”, desa bisa dilakukan dengan langkah konservasi dan revitalisasi kearifan lokal terkemuka yang sudah ada dan
mengakar di setiap daerah. Kearifan lokal mengandung pranata lokal atau sistem
norma yang mengejawantahkan nilai-nilai, asas, struktur, kelembagaan, mekanisme,
dan religi yang tumbuh, berkembang, dan dianut masyarakat lokal, dalam
fungsinya sebagai instrumen untuk menjaga keteraturan interaksi antar warga
masyarakat (social order), keteraturan hubungan dengan sang pencipta dan
roh-roh yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural (spiritual order), atau
menjaga keteraturan perilaku masyarakat dengan alam lingkungan atau ecological
order.
Contoh kearifan lokal desa di Indonesia
Seperti di Bantaeng, dimana sampai saat ini dilestarikan
lembaga dan kearifan lokal accidong sipangadakkang. Lembaga Ini merupakan
institusi asal-usul tetapi memperoleh isi baru. Desa di Bantaeng menggunakan
lembaga itu sebagai forum perencanaan pembangunan partisipatif yang menjamin
keterlibatan perempuan dan kaum miskin.
Kelembagaan accidong sipangadakkang tersebut mendapat legitimasi
dan rekognisi (pengakuan) dengan Perda Kabupaten Bantaeng. Tata nilai ini
memiliki daya dorong yang cukup efektif untuk mengembangkan serta memperluas
ruang partisipasi, peran aktif kelompok sosial, forum warga, jaringan antar
kelompok, sehingga mampu mendorong partisipasi warga, terlibat dalam proses
pengambilan keputusan baik dalam organisasi warga sendiri maupun forum
musyawarah tingkat desa, kecamatan sampai kabupaten.
Di Lombok Barat juga dilestarikan lembaga lokal bernama
gawe rapah. Lembaga asli ini bukanlah suatu wadah yang diberi mantra dan
guna-guna oleh orang pintar agar menghasilkan keputusan brilian, melainkan
sebagai media berkumpulnya (bermusyawarah) semua pemangku kepentingan dengan
mengedepankan metode revitalisasi nilai lama dan modern; berupa partisipasi,
kesetaraan, pembagian kewenangan, optimalisasi aset, kebersamaan,
kesalingpercayaan (mutual trust) dan keterbukaan.
Prinsip utama dalam tradisi ini yakni setiap orang
mempunyai kebebasan dan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan masalah dan
menawarkan solusi atas persoalan yang dihadapi secara santun dan beretika.
Reference: M. Silahuddin, 2015, "KEWENANGAN DESA DAN REGULASI DESA".
0 komentar :
Posting Komentar